Thursday, November 21, 2013

Perbudakan Sekitar 1637 - 1863

Perdagangan manusia dan kerja paksa di Dunia Baru

SEJAK pelayaran besar-besaran yang dilakukan Columbus pada tahun 1492, bangsa Eropa menetap di tempat yang dinamakan Dunia Baru dengan menyingkirkan masyarakat asli setempat. Bangsa Portugis memulai tindakan ini dengan membuka perkebunan gula di Brazil dengan cara mendatangkan para budak dari Afrika. Kebijakan ini diikuti oleh semua penguasa kolonial Eropa. Jika digabungkan semuanya, dalam waktu sekitar dua ratus tahun sejumlah dua belas juta orang dari Afrika telah diangkut dalam perdagangan budak Trans Atlantik. Belanda sendiri telah mengangkut 550.000 budak. Beberapa seniman telah mendokumentasikan nasib tragis mereka melalui lukisan.

Perdagangan budak oleh Belanda dimulai pada tahun 1621 dengan berdirinya Perusahaan Perdagangan Belanda di India Barat (disingkat WIC). Kapal-kapal WIC pada awalnya dikirim untuk kepentingan pribadi dan untuk kepentingan perang melawan armada Portugis-Spanyol. Pada tahun 1628, kapten Piet Hein berhasil menaklukkan kapal Spanyol yang memuat perak dan pada tahun 1638 Portugis harus melepaskan Saint George d’el Mina yang sekarang disebut Ghana kepada WIC. Selain itu, sebagian Brazil diduduki (1624 – 1654) dan pada tahun 1665 klaim Republik terhadap apa yang disebut hak kolonial terhadap beberapa wilayah mendapat pengakuan. Wilayah-wilayah tersebut adalah apa yang disebut Wild Coast (Suriname, Berbice, Essequibo-Demararay) dan pulau-pulau di Antilian yaitu Aruba, Bonaire, CuraƧao, Saint Martin, Sint Eustatius dan Saba.

Belanda menjadi pemain penting di kawasan Atlantik sebagai penguasa kolonial dan pedagang para budak. Hingga tahun 1730, WIC memegang monopoli perdagangan budak. Perlahan-lahan, Perusahaan Perdagangan Middelburg (didirikan tahun 1720) tumbuh menjadi usaha dagang budak terbesar dengan beberapa tempat pelelangan di Rotterdam dan Amsterdam untuk menyaingi WIC. Sekitar tahun 1770, perdagangan budak yang dilakukan Belanda mencapai puncaknya, mengangkut sekitar enam ribu budak setiap tahunnya. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah tersebut menurun dengan cepat.

Menjadi budak berarti dipaksa untuk bekerja dan tidak mempunyai hak berpendapat untuk memilih bekerja dimana, dengan siapa dan bagaimana. Para budak dari Afrika dan para penerusnya yang lahir pada masa perbudakan, bekerja di berbagai perkebunan gula, kopi, coklat, kapas dan tembakau. Mereka juga bekerja di tambang garam di Curacao dan melayani para tuan mereka. Tidak semua budak menerima nasib mereka begitu saja. Khususnya di Suriname, para budak melarikan diri, menetap di hutan dan membangun komunitas mereka sendiri berdampingan dengan bangsa Indian. Para budak yang membangkang ini disebut Maroon atau Negro Hutan. Selain itu, selalu terjadi pemberontakan baik yang kecil-kecilan maupun yang besar-besaran di kawasan perkebunan dan di daerah perkotaan. Pemberontakan budak terbesar terjadi pada tahun 1795 di Curacao di bawah kepemimpinan Tula yang menuntut kebebasan. Tula mendapat gagasan dari Revolusi Prancis dan kesuksesan pemberontakan budak di Santa-Domingue (Haiti). Namun demikian, Tula membayar kebebasan dengan nyawanya.

Pada akhir Abad ke-18 kemarahan terhadap perdagangan budak semakin meningkat. Hal ini juga terjadi di Belanda, walaupun berbagai diskusi sering didominasi oleh kepentingan para pemilik budak. Melalui berbagai tekanan, perdagangan budak di Inggris akhirnya dilarang pada tahun 1814. Sementara di Belanda, tenaga kerja budak dan usaha perbudakan baru dilarang pada tanggal 1 Juli 1863. Belanda tercatat sebagai salah satu negara Eropa terakhir yang membebaskan para budaknya.

Sumber: http://entoen.nu/slavernij/id

Thursday, September 5, 2013

Memerangi Perdagangan Manusia Harus Libatkan Banyak Pihak

[Unpad.ac.id, 25/09/2012] Tak terpungkiri, era globalisasi tidak hanya berdampak positif bagi sebuah negara namun juga menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif. Salah satu dampak negatif dari munculnya sistem ini adalah maraknya human trafficking (perdagangan manusia), sebuah kegiatan bisnis ilegal yang mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan. Diperlukan upaya berkesinambungan dan kerja sama dari semua unsur untuk mengatasi permasalahan perdagangan manusia ini.

“Upaya memerangi perdagangan manusia ini harus melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah, buruh migran itu sendiri, para penegak hukum, masyarakat sipil, media, serta negara transit dan negara tujuan migran,” ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) RI, Prof. Denny Indrayana, SH., LL.M., Ph.D., ketika menjadi pembicara kunci dalam International Symposium “Combating Human Trafficking” di Bale Sawala, Gedung Rektorat Unpad Jatinangor, Selasa (25/09). Kegiatan ini sendiri merupakan rangkaian dari perayaan Dies Natalis ke-52 Fikom Unpad.

Lebih lanjut, Prof. Denny juga memaparkan data yang dilansir oleh International Organization for Migration (IOM) dan Non Governmental Organization (NGO) anti trafficking yang memperperkirakan 43% – 50% atau sekitar 3 – 4,5 juta tenaga kerja Indonesia menjadi korban perdagangan manusia. IOM dan pemerintah Indonesia juga melakukan identifikasi kepada 3.840 korban trafficking, 90% diantaranya adalah perempuan dan sebanyak 56% dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga. Di tahun 2012 IOM juga mengeluarkan data yang menyebutkan sebanyak 82% diperdagangkan di luar negeri dan sisanya di Indonesia.

Fakta tersebut menunjukan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara pengirim, negara tujuan, maupun negara transit perdagangan manusia dunia. Bahkan, United Nations Children’s Fund (UNICEF) memperkirakan 100 ribu perempuan dan anak-anak diperdagangkan setiap tahunnya untuk eksploitasi seks komersial di Indonesia dan ke luar negeri. “Tak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar korban perdagangan manusia adalah wanita dan anak-anak,” tuturnya.

Berbagai upaya telah coba dilakukan oleh pemerintah, NGO, dan badan internasional untuk menemukan solusi nyata dan tahan lama dalam mengatasi permasalahan perdagangan manusia di Indonesia. Salah satu program dalam mengatasi masalah ini adalah Empower, program yang didesain untuk mengutamakan kapasitas pemerintah dalam melindungi dan memberdayakan korban tindak pidana perdagangan manusia.

Upaya bilateral juga terus digalakkan pemerintah guna mengatasi masalah ini, seperti yang telah dilakukan dengan pemerintah Australia, Amerika Serikat, Malaysia, dan Saudi Arabia. Lahirnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga telah membuktikan kesungguhan upaya pemerintah dalam menangani kasus-kasus perdagangan manusia.

Faktor kunci lainnya dalam mengatasi masalah perdagangan manusia ini adalah peran media. Media dapat menjadi alat yang efektif dalam membangun kepedulian masyarakat. Masyarakat harus mengerti dampak yang ditimbulkan dari perdagangan manusia untuk membantu menjalankan perannya mengatasi hal ini.

Penguatan masyarakat sipil dalam kasus ini juga menjadi unsur dasar yang sangat penting, karena bagaimanapun juga masyarakat sipil merupakan korban dari tindakan ini. Oleh karena itu, partisipasi warga sangat dibutuhkan guna memastikan kebijakan pemerintah dalam mengatasi perdagangan manusia sampai di tingkat implementasi lapangan.

Diakhir, Prof. Denny juga kembali mengingatkan bahwa permasalahan perdagangan manusia ini cukup kompleks. Oleh karena itu perlu perjuangan yang sungguh-sungguh dari semua elemen bangsa dalam mengatasinya. “Keep on Fighting for the Better Indonesia, Keep on Fighting for the better World, the World without Human Trafficking,” tutupnya.

Selain Prof. Denny, simposium ini juga diisi pemateri dari Monash University, Australia yang terdiri dari Prof. John Arnold, Prof. Susan Kneebone, Prof. Jude McCulloch, Prof. Greg Barton, dan lainnya. Dari Unpad sendiri menghadirkan beberapa pemateri diantaranya Prof. Dede Mariana, Dr. Suwandi Sumartias, Irvan Arrifandi, MA., Ph.D., Dr. Atwar Bajari, Prof. Yanyan Mochamad Yani, dan Diana Sari, MA., Ph.D. Pemangku kepentingan lainnya dalam permasalahan human trafficking ini juga didatangkan untuk menjadi pembicara pada kesempatan tersebut.*

Laporan oleh: Indra Nugraha/mar
Sumber: http://www.unpad.ac.id/2012/09/prof-denny-indrayana-upaya-memerangi-perdagangan-manusia-harus-libatkan-banyak-pihak/