Thursday, April 17, 2008

Kejahatan Perdagangan Manusia

Oleh
Made Darma Weda

Asisten Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan S Soedibio beberapa waktu yang lalu mengungkapkan bahwa kasus perdagangan dan eksploitasi seks terhadap anak di Indonesia mengalami peningkatan cukup drastis. Ia mengatakan kemiskinan menjadi faktor penyebab yang paling utama.
Ungkapan tersebut, kendati tidak disertai data yang akurat, menunjukkan bahwa perdagangan manusia merupakan ancaman yang sangat membahayakan orang-orang miskin.
Selain kemiskinan, mungkin masih terdapat faktor lainnya yang turut berperan atas terjadinya kejahatan itu. Namun apa pun yang menjadi faktor, yang jelas negara memiliki kewajiban sangat besar untuk melindungi warganya dari kemungkinan menjadi korban. Untuk itulah, rancangan undang-undang (RUU) yang melarang tindak pidana perdagangan orang harus benar-benar dikaji agar mudah untuk diimplementasikan.
Negara Indonesia memang belum memiliki UU khusus yang melarang dan memberi sanksi yang berat terhadap tindak pidana perdagangan manusia. Bersamaan dengan itu, beberapa kasus yang berkaitan dengan perdagangan manusia telah pula diungkap oleh aparat serta sebelumnya telah ada kasus-kasus yang berkaitan dengan perdagangan manusia yang divonis pengadilan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum.

Kejahatan perdagangan manusia memang menjadi perhatian masyarakat internasional. Hasil penelitian berkaitan dengan kejahatan ini menemukan tujuh hal yang penting diperhatikan (Harkristuti Harkrisnowo, 2003): pertama, sindikat kriminal memperoleh keuntungan sekitar tujuh miliar dolar AS setiap tahun dari perdagangan perempuan yang berjumlah sekitar empat juta perempuan di dunia. Kedua, bisnis perdagangan yang paling menguntungkan adalah yang bertujuan memperdagangkan seks.

Pengelabuan, Pemaksaan, Kekerasan

Ketiga setiap hari ribuan perempuan dan anak perempuan dari wilayah transisi dijerat dengan janji-janji manis dan muluk untuk memperoleh penghidupan dan pekerjaan yang menarik di luar negeri. Keempat, melalui berbagai sarana transportasi, sebagian besar dari mereka dikirim ke Jerman, Swiss, Jepang, Makao, dan Amerika Serikat, baik secara legal maupun tidak.
Kelima, perdagangan perempuan terus berkembang karena pemerintah, pejabat, dan juga warga masyarakat enggan mengungkapkannya, sehingga menimbulkan impunity. Keenam, walaupun data resmi menyebutkan bahwa setiap tahun hanya 50.000 orang perempuan meninggalkan Rusia selama-selamanya, ternyata angka sebenarnya mencapai ratusan ribu.
Yang menarik dari modus operandi perdagangan manusia adalah bahwa proses pengangkutan terhadap korban tidak selalu dilakukan secara ilegal. Bisa saja proses pengiriman dilakukan secara legal, tetapi tujuannya adalah untuk eksploitasi.

Dalam kepustakaan, terdapat perbedaan yang cukup tajam antara “trafficking in persons” dengan “smuggling”. “Smuggling” lebih menekankan pada pengiriman secara ilegal orang dari suatu negara ke negara lain, yang menghasilkan keuntungan bagi “smuggler”.
Dalam pengertian “smuggling” tidak terkandung adanya eksploitasi terhadap orang. Inti dari pengertian “smuggling” adalah adanya pengiriman orang-orang secara ilegal dari suatu negara ke negara lain. “Trafficking” memiliki target khusus, yaitu orang yang dikirim merupakan objek ekploitasi.
Dengan demikian, sejak awal telah terdapat keinginan untuk mengeksploitasi orang. Unsur “deception” (pengelabuan) dan “coercion” (pemaksaan/kekerasan) merupakan unsur yang esensial dalam “trafficking in persons”.
Berbagai perangkat internasional dilahirkan untuk melawan kejahatan perdagangan manusia. Salah satunya adalah Convention Against Transnational Organized Crime yang disepakati di Palermo pada tahun 2000. Beberapa kejahatan yang menjadi perhatian adalah kejahatan yang berkaitan dengan pencucian uang, human trafficking, narkotika, terorisme, dan kejahatan-kejahatan lainnya yang terorganisasi.

“Lex Specialis”

Perdagangan manusia, khususnya yang berkaitan dengan perempuan, merupakan bisnis terbesar ketiga setelah “drug trafficking” dan “trafficking in weapons”. Ia menjadi bisnis yang menguntungkan, karena risiko rendah, bisa diperluas, dipakai atau dijual lagi. Yang sering menjadi sasaran kejahatan ini adalah daerah-daerah setelah terjadinya konflik, karena di daerah ini masyarakat sipil belum stabil dan penegakan hukum masih lemah. “Bisnis” ini punya aneka tujuan. Salah satunya perbudakan.
Hukum Humaniter Internasional melarang segala bentuk perbudakan, dan mengualifikasikannya sebagai kejahatan internasional, selain kejahatan perang (war crime) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Maka menjadi penting bagi setiap negara untuk melakukan pelarangan dalam hukum nasionalnya, sekalipun dalam keadaan perang ataupun keadaan darurat.
International Criminal Tribunal for The Former Yugoslavia (ICTY) telah memutuskan bahwa “enslavement”, termasuk dalam pengertian “crimes against humanity”.

Demikian pula dalam International Criminal Court (ICC) Statute, “enslavenent” dan “sexual slavery” dinyatakan sebagai kejahatan. Sementara itu di Indonesia, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya dalam Pasal 297, dinyatakan “memperniagakan perempuan dan memperdagangkan laki-laki yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun”. Namun ketentuan ini tidak memberikan batasan tujuan dari memperniagakan, apakah memperniagakan tersebut memiliki tujuan untuk eksploitasi seksual atau untuk perbudakan.
Bagaimana pun, pasal KUHP ini merupakan ketentuan yang dapat dipergunakan untuk menjaring para pelaku yang memperdagangkan manusia. Masih banyak pasal-pasal lainnya yang terdapat dalam KUHP, yang dapat dikaitkan dengan perdagangan manusia.
RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sedang dibahas di DPR harus memiliki ketentuan yang bersifat khusus, agar dapat menjadi lex specialis. Sifat khusus RUU ini selain akan tampak dari rumusan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perdagangan manusia serta sanksi yang dikenakan terhadap para pelakunya, juga harus dapat melindungi para korban.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap korban perdagangan manusia, yaitu: pertama: korban tindak perdagangan manusia harus mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah. Dalam hal ini, apapun peran korban, tidak mungkin korban dapat dikenakan sanksi pidana.
Kedua, harus terdapat mekanisme untuk mengembalikan korban ke daerah asal. Sering kali korban tidak memiliki biaya untuk pulang kembali ke daerah asalnya. Dalam hal ini, pemerintah harus memfasilitasi agar korban dapat pulang atas biaya Negara (pemerintah).
Ketiga, korban memiliki hak untuk memilih: apakah akan kembali ke daerah asalnya ataukah tetap bekerja di tempat yang diinginkan. Bentuk-bentuk perlindungan demikian ini harus tampak dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Penulis adalah dosen pada program HAM (S2) Universitas Indonesia. Juga bekerja sebagai Tenaga Ahli Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI.

Copyright © Sinar Harapan 2003
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/22/opi01.html

No comments: