Friday, April 18, 2008

PERDAGANGAN MANUSIA "Saya Dijuaaal..."

Jumat, 18 April 2008 | 02:35 WIB
Oleh: CM Rien Kuntari dan Khairina

”Saya dijual. Saya dijuaaal..!” Kalimat penuh amarah itu meluncur dari bibir seorang dara hitam manis. Hampir dua tahun ia ”terpuruk” di rumahnya yang tak lebih luas dari sebuah garasi mobil, berdinding batu tanpa semen, dan berlantai tanah. Ia seolah tak mampu bangkit kembali....

Nur (18), sebut saja begitu. Tak pernah terbayangkan pada tahun 2005 ia akan mengalami kejadian seburuk ini. Ia begitu ceria ketika seseorang datang ke rumahnya dan menawari pekerjaan. Apalagi, saat itu ia langsung mendapat tawaran untuk bekerja di Jepang dengan gaji selangit. Hati bocah tamatan SD itu semakin berbunga ketika orangtuanya pun merestui keinginan tersebut.

Si ayah maupun ibu Nur sama sekali tidak curiga. Yang ada di benak mereka hanyalah bisa segera keluar dari impitan kemiskinan. Maklum, kedua orangtuanya hanyalah buruh tani. Bukan buruh tani harian, melainkan buruh yang hanya sesekali dipanggil dengan tarif Rp 25.000 sekali panggil. Di mata mereka, orang yang mengambil Nur adalah ”malaikat penolong”. ”Yang penting bawa banyaaaak..,” kata sang ibu.

Nur yang kala itu berusia 15 tahun lalu dibawa pergi oleh sang ”malaikat penolong”. Di depan sang ibu, Nur dikatakan akan dicarikan pekerjaan sebagai di Jepang dengan gaji jutaan rupiah. Namun, sesampainya di Jepang, ”Saya dijual. Saya dijuaaalll...,” ujar Nur saat ditemui di rumahnya, Selasa lalu. Kenyataannya, sang ”malaikat penolong” adalah ”setan” yang terus bergentayangan di kampung-kampung kumuh untuk mencari nur-nur lain.

”Saya memang berangkat tanpa biaya. Artinya, semuanya sudah diuruskan. Tetapi di Jepang, saya tidak dijadikan . Saya dijual dan dipekerjakan sebagai PSK (pekerja seks komersial),” kata Nur dengan sedikit terbata-bata. Sesekali ia menarik napas sangat dalam. Kenyataan ini bukan satu-satunya pil pahit yang harus ia telan. ”Saya ditagih oleh bos. Katanya saya utang empat juta yen (setara dengan Rp 375 juta), biaya membawa saya ke Jepang,” lanjutnya.

Walau tak bergaji, selama 1,5 tahun di Jepang Nur masih bisa dua kali mengirim uang sebesar Rp 3 juta dan Rp 4 juta ke Indonesia. Uang itu hasil tip dari para tamu yang ia kumpulkan. Repotnya, begitu mendengar ada uang dari Nur, si ”penolong” kemudian mendatangi orangtua Nur, meminta jatah. Mereka mengira Nur telah berhasil di Jepang.

Nasib pilu Nur berakhir ketika suatu saat ia mendapat tamu dari Kantor Imigrasi Jepang. Begitu mendengar kisahnya, sang tamu menyarankan Nur melarikan diri ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Jepang. Pihak KBRI menyarankan agar Nur melaporkan diri ke polisi. Oleh polisi, Nur kemudian diserahkan ke Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) Jepang yang kemudian mengirimnya ke Jakarta.

Tanggal 4 Januari 2007, IOM Indonesia mengembalikan Nur ke pangkuan keluarga. Nur memang telah kembali, tetapi ia tak kunjung pulih. Ia lalui hari dengan mengisap rokok dan bir pemberian orang. ”Kalau ada 10 botol pun aku minum semua,” ujarnya pilu.

Negara asal dan tujuan

Nur hanyalah satu dari ribuan perempuan yang harus menangis pilu. Ia adalah bagian dari lingkaran setan perdagangan manusia yang semakin marak di Indonesia. Dalam catatan Kompas tahun 2006, hanya terdapat 84 kasus. Tahun 2007, angka itu meningkat menjadi 123 kasus.

Badan Reserse dan Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Mabes Polri) mencatat, tahun 1999 hingga Desember 2007 terdapat 514 kasus. Dengan perincian, melibatkan 1.015 orang dewasa (81 persen) dan 238 anak (19 persen). Dari jumlah itu, 422 pelaku telah ditangkap dengan 278 kasus dalam proses peradilan dan 274 kasus dalam proses penyidikan.

Biasanya, perempuan dan gadis muda dari Kepulauan Riau dijual ke Singapura dan Malaysia. Data yang dihimpun Departemen Luar Negeri AS menunjukkan, warga Malaysia dan Singapura merupakan turis terbesar di bidang pelayanan seks. Sementara itu, perempuan dari Kalimantan Barat sering kali bermigrasi ke Taiwan dan Hongkong dalam bentuk kawin kontrak. Tak jarang mereka dijerumuskan ke lembah prostitusi atau kerja ijon.

Dalam skala tertentu, Indonesia juga merupakan daerah transit dan tujuan bagi para perempuan korban perdagangan manusia dari China, Thailand, Hongkong, Uzbekistan, Belanda, Polandia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina. Walau begitu, jumlah mereka jauh lebih kecil dibanding perempuan Indonesia yang diperdagangkan keluar.

Untuk skala dalam negeri, para perempuan muda Indonesia biasa dijual di daerah Batam, Riau, Bangka Belitung, Manado, Papua, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Di luar negeri, umumnya mereka dijual ke Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Hongkong, Taiwan, Korea, Jepang, Australia, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Kuwait, Mesir, Palestina, Jordania, Eropa, Inggris, dan AS.

Manajer Program IOM Indonesia Elizabeth Dunlap mengatakan, korban perdagangan manusia periode Maret 2005 hingga Januari 2008 mencapai 3.042 orang. Dengan perincian, bayi perempuan (5), anak perempuan (651), anak laki-laki (134), perempuan dewasa (2.048), dan pria dewasa (206).

Mayoritas korban berasal dari Kalbar (707), Jabar (629), Jatim (370), Jateng (319), NTB (212), Sulut (207), Lampung (150), NTT (118), Sumsel (65), Banten (64), Sulsel (46), DKI Jakarta (42), dan lain-lain (113). Korban dipekerjakan di Malaysia (2.305), Indonesia (587), Arab Saudi (49), Singapura (28), Jepang (27), Suriah (11), Kuwait (10), Taiwan (6), Irak (4), lain-lain (15).

Kisah sedih korban perdagangan manusia sudah sering diungkap. Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pun telah disahkan, tetapi perdagangan manusia tidak juga bisa diberantas. Mengapa hal itu terjadi?

”Trafficking banyak yang tidak terlaporkan karena tergolong kasus kriminal, ilegal, tersembunyi, terorganisasi dengan rapi sehingga sangat sulit mendapatkan data yang benar-benar valid,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Surjadi Soeparman.

Luar biasa

Uang yang berputar dalam ”bisnis” haram ini memang luar biasa. Sedikitnya mencapai Rp 32 triliun per tahun. ”Bisnis” itu hanya kalah dari bisnis pelacuran, yang menghasilkan uang lebih besar. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, bisnis perdagangan manusia di seluruh dunia setiap tahun menghasilkan 31,6 miliar dollar AS. Angka itu hanya kalah dari peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang.

”Trafficking itu satu kejahatan kemanusiaan, sangat melanggar harkat dan martabat kemanusiaan. Manusia dianggap sebagai satu komoditas yang dapat dipindahtangankan kemudian dijual dan dibeli. Mirip seperti komoditas barang,” ujar Surjadi.

Data-data yang dimiliki berbagai pihak hanyalah fenomena gunung es. Jumlah korban sesungguhnya tidak diketahui dengan pasti. Selama masih terdapat permintaan dan penawaran, ”bisnis” haram ini tidak akan pernah mati.

Secara empiris, menurut Surjadi, sebagian besar korban memang perempuan. Laki-laki yang menjadi korban perdagangan manusia umumnya adalah remaja laki-laki. Mereka dipekerjakan di jermal atau korban kaum pedofilia. Dalam budaya masyarakat yang patriarki, masih terdapat diskriminasi jender. Perempuan dan anak perempuan seolah hanya jadi pelengkap seksualitas dan dianggap rendah.

Budaya yang sudah mengakar sejak dulu itu, kata Surjadi, sulit sekali diubah. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya kemiskinan, pengangguran, kawin usia dini, serta budaya masyarakat yang hanya mencari kerja bukan menciptakan kerja.

Masyarakat, khususnya perempuan, yang berada dalam kondisi terjepit secara ekonomi dan sosial itu mudah sekali diiming-imingi dan dibujuk oleh para calo. Mereka dijanjikan bekerja di kota atau di luar negeri dengan janji upah yang tinggi. Namun, sesungguhnya yang terjadi adalah penipuan.

Para pelaku perdagangan manusia semakin cerdik. Mereka menciptakan berbagai modus operandi agar calon korban terbujuk dan jejak kejahatan mereka tidak terlacak. Selain dijanjikan bekerja di luar negeri, banyak juga gadis yang dijanjikan menikah dengan orang asing. Pada akhirnya, mereka dipaksa bekerja sebagai pelacur atau pekerja paksa.

Pelaku yang telah tertangkap, kata Surjadi, belum tentu merupakan otak dari jaringan perdagangan manusia itu. Mereka umumnya hanyalah kaki tangan atau lapis ke sekian dari jaringan yang sangat rumit. Polisi sulit mengungkap karena jaringan mereka begitu rapi dan terorganisasi.

Khusus untuk kejahatan perdagangan manusia dengan kedok perkawinan, lebih sulit lagi diungkap. Selama ini lembaga pernikahan dianggap sebagai hal yang sakral dan tabu untuk dibicarakan kepada orang lain. Akibatnya, sulit menemukan bukti perdagangan perempuan lewat jalur pernikahan.

Buruh migran juga rawan menjadi korban perdagangan manusia. Sedikitnya 20 persen buruh migran terjebak dalam perdagangan manusia. Banyak dari mereka yang terpaksa lari karena tidak tahan disiksa.

Sumber: www.kompas.com/

No comments: